Kasus :
Terjadinya kesalahpahaman karena komunikasi sering terjadi dalam perusahaan baik dengan atasan maupun dengan bawahan. Sehingga dapat menimbulkan terjadinya komposisi kerja yang kurang maksimal. Didalam hubungan komunikasi di suatu lingkungan kerja atau perusahaan
konflik antar individu akan sering terjadi. Konflik yang sering terjadi
biasanya adalah karena masalah kominikasi yang kurang baik. Sehingga
cara mengatasi konflik dalam perusahaan harus benar-benar dipahami
management inti dari perusahaan, untuk meminimalisir dampak yang timbul.
Permasalahan
atau konflik yang terjadi antara karyawan atau karyawan dengan atasan
yang terjadi karena masalah komunikasi harus di antisipasi dengan baik
dan dengan system yang terstruktur. Karena jika masalah komunikasi
antara atasan dan bawahan terjadi bias-bisa terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, misalnya mogok kerja, bahkan demo.
Sehingga untuk mensiasati masalah ini bias dilakukan dengan berbagai cara.
1. Membentuk
suatu system informasi yang terstruktur, agar tidak terjadi kesalahan
dalam komunikasi. Misalnya, dengan membuat papan pengumungan atau
pengumuman melalui loudspeaker.
2. Buat
komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan menjadi lancer dan
harmonis, misalnya dengan membuat rapat rutin, karena dengan komunikasi
yang dua arah dan intens akan mengurangi masalah di lapangan
3.
Beri pelatihan dalam hal komunikasi kepada atasan dan karyawan,
pelatihan akan memberikan pengetahuan dan ilmu baru bagi setiap individu
dalam organisasi dan meminimalkan masalah dalam hal komunikasi
Biasanya
masalah timbul karena lingkungan yang kurang kondusif di suatu
perusahaan. Misalnya, kondisi cahaya yang kurang, atau sirkulasi yang
kurang baik, dan temperature ruangan yang tinggi sangat mungkin untuk
meningkatkan emosi seseorang, jadi kondisi dari lingkungan juga harus di
perhatikan
Konflik dalam perusahaan juga sering terjadi antar
karyawan, hal ini biasanya terjadi karena masalah diluar perusahaan,
misalnya tersinggung karena ejekan, masalah ide yang dicuri, dan
senioritas. Perusahaan yang baik harus bisa menghilangkan masalah
senioritas dalam perusahaan. Hal ini dapat meminimalisir masalah yang
akan timbul, kerena dengan suasanya yang harmonis dan akrab maka masalah
akan sulit untuk muncul.
Sabtu, 29 Desember 2012
Senin, 17 Desember 2012
ETIKA BISNIS DALAM ISLAM
I. Pendahuluan
Sistem
Etika Bisnis Islam berbeda dengan sistem etika sekuler, sistem sekuler
mengasumsikan sejumlah moralitas yang sangat entropis, karena konsep
moral dari sistem etika tersebut berdiri diatas nilai – nilai temuan
manusia.Seperti halnya epicurianism atau kebahagiaan hanya untuk
kebahagiaan itu sendiri.Sistem etika tersebut megusulkan sebuah sistem
penceraian antara etika dengan agama.Sedangkan kode moralitas yang
diadopsi agama selain Islam lebih sering menekankan kepada pengkaburan
eksistensi kehidupan manusia di muka bumi.
Bagi seorang muslim, kemapanan paradigm konvensional akan arti manusia sebagai ‘ Homo economicus’
(pelaku ekonomi yang mencari keuntungan bagi dirinya tanpa mengindahkan
kepentingan orang lain) tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai – nilai
etika Islam.Oleh sebab itu, morality concept dalam perspektif Islam
diusung pada saat pencerahan aksioma – aksioma yang sudah terlanjur
kondang (dari sistem kapitalis misalnya).
II. Definisi Etika Bisnis Islam
Secara
sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang
mana yang baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada
prinsip – prinsip moralitas.Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau
refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.
Moralitas
disini berarti, aspek baik/buruk, terpuji/tercela, benar/salah,
wajar/tidak wajar, pantas/tidak pantasdari perilaku manusia.Kemudian
dalam kajian etika bisnis Islam susunan adjective di atas
ditambah dengan halal – haram, sebagai yang disinyalir oleh Husein
Sahatah, dimana beliau memaparkan sejumlah perilaku etis bisnis (akhlak
al islamiyah) yang dibungkus dengan dhawabith syariah (batasan syariah) atau general guideline menurut Rafik Issa Beekun.
III. Batasan Desain Etika Bisnis dalam Islam
Desain
metodologis sangat diperlukan agar muslim paling tidak mempunyai acuan
standar moral tersendiri dalam berperilaku etika, khususnya pada
bisnis.Untuk upaya tersebut, berikut sejumlah tahapan yang menjadi
rumusan dan cara kerja penulis dalam mengasumsikan bagaimanakah etika
bisnis Islam, yaitu :
1. Pemetaan (maping) Nilai – nilai Sistem Etika Barat dan Timur
2. Proses Inserting Islamic Values (memasukkan nilai – nilai Islam) pada Standar Moral Etika.
3. Inventing the Tools
4. Punishment and Repentance (hukuman dan penyesalan)
IV. Nilai – nilai Etika Kerja Islami
Ada
beberapa ciri khas etos kerja Islami yang dapat diakomodir dari
implementasi nilai Islam dalam Al – Qur’an dan Hadits, seperti sebagai
berikut menghargai waktu, ikhlas, jujur, komitmen kuat, istikamah,
disiplin dalam kerja, konsekuen dan berani tantangan,disiplin kreatif,
percaya diri dan ulet, bertanggung jawab, bahagia karena melayani,
memiliki harga diri, memiliki jiwa kepemimpinan, berorientasi pada masa
depan, hidup hemat, jiwa wirausaha, insting bertanding dalam kompetisi
kebaikan, keinginan mandiri, selalu belajar, orientasi pada
produktifitas, perkaya jaringan silaturahmi, semangat perantauan dan
semangat perubahan.
Konsep kerja dan bisnis Islam yang dapat diterjemahkan dalam bentuk aplikasi etos kerja, yaitu :
1. Keimanan
bahwa tujuan manusia dalam melakukan pekerjaan adalah beribadah kepada
Allah dan memakmurkan kehidupan dengan mengelola bumi beserta isinya.
2. Kerja adalah usaha untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jiwa dan jasmani.
3. Bekerja keras untuk mendapatkan rezeki di sertai dengan tawakal dan takwa kepada Allah SWT.
4. Usaha yang halal dan menghindari usaha yang haram.
5. Menghindarkan transaksi ribawi.
6. Keinginan
untuk memenuhi kebutuhan kewajiban – kewajiban Islam yang lebih utama
tanpa dilandasi dengan sikap sombong atau tinggi hati.
7. Tidak bekerja sama dengan musuh – musuh Islam.
8. Keimanan yang menyatakan bahwa seluruh materi di dunia ini hanya milik Allah sedang manusia hanya bertugas sebagai khalifah.
9. Menjaga kepemilikan materi dan mengembangkannya di jalan yang halal.
10. Kewajiban bermoral seperti jujur, amanah, dan paham akan segala aspek perdagangan.
11. Memperbanyak
beristighfar, karena memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT
dapat menjadikan salah satu factor dimudahkannya untuk mendapatkan
rezeki.
12. Keimanan bahwa Allah SWT senantiasa melebihkan rezeki kepada sebagaian hambanya.
13. Keseimbangan dalam pengeluaran uang.
14. Mengeluarkan zakat harta, karena zakat adalah ibadah dan bagian dari rukun Islam.
15. Keimanan kepada hari akhir dan manusia akan dihitung segala amalanya dalam berproses mencari dan mengeluarkan rezeki.
16. Yang dibolehkan syara’ adalah ahal yang baik dan halal.
17. Membuat perjanjian dalam hubungan kemitraan
18. Pembiayaan proyek usaha secara resmi islami.
19. Menghindari jual beli yang tidak dibolehkan syara’
20. Mematuhi kode etik dalam setiap melaksanakan kewajiban dan interaksi keuangan.
21. Melakukan transaksi dengan bank secara Islami
22. Tanpa adanya alasan dlaruraat sebisa mungkin menjauhkan transaksi yang tidak Islami dengan perusahaan asuransi.
23. Berhati – hati ketika bertransaksi dengan surat dagang (Commercial Papers)
24. Memberikan hak – hak pekerja.
25. Melaksanakan hak Allah yang diwajibkan atas materi
26. Menggunakan prinsip al ma’ruf dakan pembubaran usaha
27. Memberikan kemudahan bagi pihak yang mengalami kesulitan.
28. Seseorang dilarang menawar diatas tawaran saudaranya.
29. Memurahkan harga dan berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit.
30. Memiliki rasa impati.
digg del.icio.us stumbleupon reddit RSS
Wacana Etika dalam Bisnis
Perbincangan tentang
"etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa
kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau
oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang
yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling
tidak) "bertangan kotor". Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri. Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir. Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir. Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis. Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta. Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq |
Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan
paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang
harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan
manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan
Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum
minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka
setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada
kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan
ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis.
Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia
tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran
seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting
dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"
Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam.
* Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon, Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"
Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam.
* Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon, Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon
ETIKA BISNIS DAN E-COMMERCE
Bisnis? Apakah bisnis memiliki peran dalam Teknologi Informasi? Tentu
saja iya. Dalam teknologi informasi aspek bisnis berpengaruh kuat dalam
pengembanganya. Aspek bisnis disini diperlukan untuk mencari keuntungan,
dimana keuntungan tersebut digunakan untuk perkembangan teknologi.
Namun, dalam berbisnis pun tidak akan lepas dari etika, yang bertujuan
untuk menanamkan nilai-nilai manusiawi dalam mencari keuntungan
berbisnis.
Menurut Sony Kerf (1991) prinsip-prinsip etika bisnis antara lain adalah prinsip otonom, dimana pelaku bisnis bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya serta dampak dari keputusannya tersebut. Prinsip kejujuran guna menjamin kelagengan pada sebuah kegiatan bisnis. Prinsip berbuat baik dan tidak berbuat jahat, prinsip keadilan dimana pelaku bisnis berbuat adil terhadap seseorang sesuai dengan haknya. Kemudian yang terakhir, prinsip hormat pada diri sendiri karena manusia memiliki kewajiban moral untuk memperlakukan dirinya sebagai pribadi yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama dengan pribadi lainnya.
Dalam berbisnis di bidang Teknologi Informasi banyak macamnya seperti, Bisnis di bidang industry perangkat keras dan atau lunak, bisnis di bidang distribusi dan penjualan barang, bisnis di bidang pendidikan Teknologi Informasi dan masih banyak lagi. Akan tetapi setiap bisnis tersebut juga banyak sekali tantangannya. Biasanya tantangan tersebut seperti cepatnya perubahan dan inovasi pada hardware, tantangan pasar dan pemasaran di era globalisasi atau sebentar lagi yang akan menghadapi perdangan bebas, tantangan pergaulan internasional, tantangan pengembangan SDM, dsb.
E-commerce (Electronic Commerce) merupakan suatu cara berbelanja atau berdagang online dimana terdapat layanan website yang menyediakan layanan “Get and Deliver”. Keuntungannya pelaku bisnis ini tidak perlu memikirkan biaya-biaya operasional untuk keigatan perdagangannya tersebut, lalu dapat meningkatkan pendapatan dengan menggunakan online channel yang biayanya lebih murah. Akan tetapi bukan berarti menggunakan cara ini tidak ada masalah, melainkan lebih merepotkan jika kita menjadi konsumen yang dirugikan. Permasalahnnya karena kontrak transaksinya dilakukan secara elektronis/digital sehingga mudah dimanipulasi. Atau ketika barangnya dikirim sudah dalam keadaan rusak atau terjadi keterlambatan dalam pengiriman. Ketika kita menjadi penjual pun ada saja kendalannya terutama mengenai pajak sewaktu pengiriman dilakukan melewati batas Negara yang berbeda.
Menurut Sony Kerf (1991) prinsip-prinsip etika bisnis antara lain adalah prinsip otonom, dimana pelaku bisnis bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya serta dampak dari keputusannya tersebut. Prinsip kejujuran guna menjamin kelagengan pada sebuah kegiatan bisnis. Prinsip berbuat baik dan tidak berbuat jahat, prinsip keadilan dimana pelaku bisnis berbuat adil terhadap seseorang sesuai dengan haknya. Kemudian yang terakhir, prinsip hormat pada diri sendiri karena manusia memiliki kewajiban moral untuk memperlakukan dirinya sebagai pribadi yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama dengan pribadi lainnya.
Dalam berbisnis di bidang Teknologi Informasi banyak macamnya seperti, Bisnis di bidang industry perangkat keras dan atau lunak, bisnis di bidang distribusi dan penjualan barang, bisnis di bidang pendidikan Teknologi Informasi dan masih banyak lagi. Akan tetapi setiap bisnis tersebut juga banyak sekali tantangannya. Biasanya tantangan tersebut seperti cepatnya perubahan dan inovasi pada hardware, tantangan pasar dan pemasaran di era globalisasi atau sebentar lagi yang akan menghadapi perdangan bebas, tantangan pergaulan internasional, tantangan pengembangan SDM, dsb.
E-commerce (Electronic Commerce) merupakan suatu cara berbelanja atau berdagang online dimana terdapat layanan website yang menyediakan layanan “Get and Deliver”. Keuntungannya pelaku bisnis ini tidak perlu memikirkan biaya-biaya operasional untuk keigatan perdagangannya tersebut, lalu dapat meningkatkan pendapatan dengan menggunakan online channel yang biayanya lebih murah. Akan tetapi bukan berarti menggunakan cara ini tidak ada masalah, melainkan lebih merepotkan jika kita menjadi konsumen yang dirugikan. Permasalahnnya karena kontrak transaksinya dilakukan secara elektronis/digital sehingga mudah dimanipulasi. Atau ketika barangnya dikirim sudah dalam keadaan rusak atau terjadi keterlambatan dalam pengiriman. Ketika kita menjadi penjual pun ada saja kendalannya terutama mengenai pajak sewaktu pengiriman dilakukan melewati batas Negara yang berbeda.
Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme
etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki
keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau
salah, tergantung kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain,
relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang
secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus diterapkan terhadap
perusahaan atau orang dari semua masyarakat.
Dalam penalaran moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.
Dalam penalaran moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.
Langganan:
Postingan (Atom)