• Apa itu “etika bisnis”?
• Apa saja enam tingkatan dalam membangun moral?
• Perlukah standar moral diaplikasikan dalam bisnis?
• Kapan seseorang secara moral bertanggung jawab untuk perbuatan salahnya?
Tidak
ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara
etika dan bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil
telah benar-benar berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Perusahaan Merck and Company dalam menangani masalah “river blindness”
sebagai contohnya ;
River blindness adalah penyakit sangat tak
tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk miskin di desa-desa
terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin.
Penyakit
dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan
lalat hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi
dengan melepaskan jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang
menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak di bawah kulit,
meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan gatal yang amat
sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang memutuskan bunuh
diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada
Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah
satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari perusahaan itu,
Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river blindness.
Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck,
Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut
untuk manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses
mengembangkan obat tersebut, penderita river blindness terlalu miskin
untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis berskala
besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta
dollar.
Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat
mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau
obat itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak
pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat
diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga
menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini
menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per
tahun, namun pendapatan bersihnya menurun akibat kenaikan biaya
produksi, dan masalah lainnya, termasuk kongres USA yang siap
mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak
pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan
membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti
untuk river blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam
penderitaan menyakitkan. Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada
kesimpulan bahwa keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness
terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara
moral perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal ekonomis yang
kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan
Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan
banyak percobaan klinis, Merck berhasil membuat pil obat baru yang
dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab
river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau
membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS
dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau
membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini,
tapi tak satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan
memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran
distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan.
Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk
mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan
memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk
hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang,
yang secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat
sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut. Merck
menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan
obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan
etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan
mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang
akan dating. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan
semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka panjang yang penting.
Para
ahli sering berkelakar, bahwa etika bisnis merupakan sebuah kontradiksi
istilah karena ada pertentangan antara etika dan minat pribadi yang
berorientasi pada pencarian keuntungan. Ketika ada konflik antara etika
dan keuntungan, bisnis lebih memilih keuntungan daripada etika.
Buku
Business Ethics mengambil pandangan bahwa tindakan etis merupakan
strategi bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan – sebuah
pandangan yang semakin diterima dalam beberapa tahun belakangan ini.
1.1.ETIKA BISNIS DAN ISU TERKAITMenurut
kamus, istilah etika memiliki beragam makna berbeda. Salah satu
maknanya adalah “prinsip tingkah laku yang mengatur individu dan
kelompok”. Makna kedua menurut kamus – lebih penting – etika adalah
“kajian moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan dengan moralitas,
namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam
penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu
sendiri, sedangkan moralitas merupakan subjek.
A. MoralitasMoralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat.
Pedoman
moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis
tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai
yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik
atau secara moral buruk. Norma moral seperti “selalu katakan kebenaran”,
“membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral biasanya
diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau
ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan
“ketidakadilan itu buruk”. Standar moral pertama kali terserap ketika
masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan seperti
gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan.
Hakekat standar moral :
- Standar
moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara
serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
- Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.
- Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya) kepentingan diri.
- Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
- Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Standar
moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan
persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada
penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri,
didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang pelanggarannya
diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan emosi dan
kosa kata tertentu.
B. EtikaEtika
merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar
moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar
diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal
atau tidak masuk akal – standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran
yang bagus atau jelek.
Etika merupakan penelaahan standar moral,
proses pemeriksaan standar moral orang atau masyarakat untuk menentukan
apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk diterapkan dalam
situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah
mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk
dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya
adalah menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran
yang baik, dan dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang
moral yang benar benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
C. Etika BisnisEtika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
Etika
bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu
diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat
modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan
diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
D. Penerapan Etika pada Organisasi PerusahaanDapatkan
pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan
kewajiban diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada
orang (individu) sebagai perilaku moral yang nyata?
Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini :
- Ekstrem pertama,
adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat,
organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan
bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa
yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab
secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah
bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama yang dilakukan
manusia.
- Ekstrem kedua,
adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal
berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena
ia gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi
memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis sama seperti mesin yang
anggotanya harus secara membabi buta mentaati peraturan formal yang
tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal
untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia
gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti
mesin yang gagal bertindak secara moral.
Karena itu, tindakan
perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia,
indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban
moral dan tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab
atas apa yang dilakukan perusahaan karena tindakan perusahaan secara
keseluruhan mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan
bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang
dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak
secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan
bertindak secara bermoral.
E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional dan Etika BisnisGlobalisasi
adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan system
ekonomi serta sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk
didalamnya barangbarang, jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan
budaya yang diperdagangkan dan saling berpindah dari satu negara ke
negara lain. Proses ini mempunyai beberapa komponen, termasuk didalamnya
penurunan rintangan perdagangan dan munculnya pasar terbuka dunia,
kreasi komunikasi global dan system transportasi seperti internet dan
pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank
dunia, IMF, dan lain sebagainya.
Perusahaan multinasional adalah inti
dari proses globalisasi dan bertanggung jawab dalam transaksi
internasional yang terjadi dewasa ini. Perusahaan multinasional adalah
perusahaan yang bergerak di bidang yang menghasilkan pemasaran, jasa
atau operasi administrasi di beberapa negara. Perusahaan multinasional
adalah perusahaan yang melakukan kegiatan produksi, pemasaran, jasa dan
beroperasi di banyak negara yang berbeda.
Karena perusahaan
multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya dan
standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa
perusahaan melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka
lakukan.
F. Etika Bisnis dan Perbedaan BudayaRelativisme
etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki
keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau
salah, tergantung kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain,
relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang
secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus diterapkan terhadap
perusahaan atau orang dari semua masyarakat.
Dalam penalaran moral
seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam
masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus
relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral tertentu yang
harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan
terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara
efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang
berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak
secara sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika
mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.
G. Teknologi dan Etika BisnisTeknologi
yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat
dan bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling
mencolok adalah revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi.
Teknologi menyebabkan beberapa perubahan radikal, seperti globalisasi
yang berkembang pesat dan hilangnya jarak, kemampuan menemukan
bentuk-bentuk kehidupan baru yang keuntungan dan resikonya tidak
terprediksi. Dengan perubahan cepat ini, organisasi bisnis berhadapan
dengan setumpuk persoalan etis baru yang menarik.
1.2 PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORALA. Perkembangan MoralRiset
psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah
ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang
benar dan apa yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika
tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional secara bertahap
diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada
pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian
manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan
merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan
keluarga, teman, budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak
memihak dan yang lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara
memadai menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian
terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg,
dengan risetnya selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan
(terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam
perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral.
Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap PrakonvensionalPada
tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi
sosial dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada
tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh
kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang
baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas
fisik yang lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada
tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai
instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan
mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap KonvensionalPada
level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi
menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja
pada masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari
perspektif kelompok sosialnya.
Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada
tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk
dilihat sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan
pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar
dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan
oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih
besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain
yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau BerprinsipPada
tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan
norma kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut
pandang yang secara adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia
mempertanyakan hukum dan nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan
mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral yang dipilih
sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang
pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang
yang rasional untuk menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap
ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan
pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk
mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang.
Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari
consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap
akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip
moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan
konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan
pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia
melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan
moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana
kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita
menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan memahami
standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang mengalami
perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang
hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional,
benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris
untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur
otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional,
tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan
dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum Negara
atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level
postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis
terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral
didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih
bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
B. Penalaran MoralPenalaran
moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau
kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral
selalu melibatkan dua komponen mendasar :
- Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal.
- Bukti
atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau
prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut,
melarang, menilai, atau menyalahkan.
- Menganalisis Penalaran Moral
Ada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu :
- Penalaran moral harus logis.
- Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap.
- Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
1.3 ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN YANG MENENTANG ETIKA BISNISBanyak
yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis.
Bagian ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang
dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke
dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang
yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada
pencarian keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang
energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan
baik”. Tiga argumen diajukan untuk mendukung perusahaan ini :
Pertama,
beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna,
pencarian keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota
masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling menguntungkan secara
sosial. Agar beruntung, masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya
apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya
dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan
sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis,
namun mengabdikan dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus.
Argumen
tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar
industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh
perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan
keuntungan sekalipun produksi tidak efisien. Kedua, argumen itu
mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan
keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam
kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang
sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru,
menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb.
Ketiga, argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang
diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan
oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian
besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak
perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar.
Keempat, argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.
Kedua,
Kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya
berfokus mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan
pertimbangan etis, yang oleh Ale C. Michales disebut ”argumen dari agen
yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana adalah sbb :
Sebagai
agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk
melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki
keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan
memajukan kepentingannya sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang
loyal dari majikannya, manajer mempunyai kewajiban untuk melayani
majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya.
Argumen
agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah
klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau
profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun
dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan
tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan demikian, kewajiban
manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasan-batasan
moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :
Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang
kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa
hokum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar
moral kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa.
Beberapa hukum tidak punya kaitan dengan moralitas, bahkan hukum
melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan moralitas, seperti
hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak sebagai
properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.
Namun
tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral
kita kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa
bahwa standar moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum
sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar
standar moral.
Kasus etika dalam bisnis
Etika seharusnya
diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur semua
aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan
aktitivitas manusia yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam
bisnis. Argumen lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga
aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat
dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal
etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya
mensyaratkan perilaku etis.
Dalam masyarakat tanpa etika, seperti
ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang
tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia terhadap manusia
lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal,
dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin
dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis
tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang
paling utama adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan
juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan
menunjukan bahwa etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam
mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal karena budaya etisnya yang
sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara
spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa.
Apakah
ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan
profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan
dapripada perusahaan lainnya ?
Beberapa studi menunjukan hubungan
yang positif antara perilaku yang bertanggung jawab secara sosial dengan
profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis
merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang
bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh
pengembalian yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi
menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan,
dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan.
Dalam jangka
panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari
pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil,
namun perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi
kekalahan karena meruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama
dengan pelanggan, karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan
disnis sangat bergantung.
Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak
bukti bahwa sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan
menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan
menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan
akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang
dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka
untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan
menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan
tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa
organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang
dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.
Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.
1.4 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORALKapankah
secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena
melakukan kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas
tindakannya dan efek-efek merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b.
Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena
orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau
mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang
sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena
menyebabkan kerugian ;
- Ketidaktahuan
- Ketidakmampuan
Keduanya
disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari
tanggung jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau
tidak dapat menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak
berbuat secara sadar, ia bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas
tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan ketidakmampuan tidak selalu
memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah ketika seseorang
mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui
persoalan tertentu.
Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat
lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang tidak dapat
melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan melakukan sesuatu. Seseorang
mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya
yang mencukupi untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik terhalang
atau tidak dapat bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat
sehingga mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan
mengurangi tanggung jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung
jawab untuk melakukan (atau melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat
dia kendalikan. Sejauh lingkungan menyebabkan seseorang tidak dapat
mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian tertentu, adalah keliru
menyalahkan orang itu.
Sebagai tambahan atas dua kondisi yang
memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang sepenuhnya
menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada juga
beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral
seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang
memperingan mencakup :
- Lingkungan yang mengakibatkan orang
tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa yang sedang dia
lakukan ( hal tersebut mempengaruhi pengetahuan seseorang)
- Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
- Lingkungan
yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan
seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan sampai
dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian)
Hal tersebut
dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru
yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan.
Kesimpulan
mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang
memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :
- Secara
moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia
lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek
kerugian yang disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu
dilakukan dengan bebas dan sadar.
- Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
- Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
- Ketidak pastian
- Kesulitan
Bobot
keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika
seseorang mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun
cakupan sejauh mana hal-hal tersebut memperingan tanggung jawab moral
seseorang kepada (dengan) keseriusan kesalahan atau kerugian. Semakin
besar keseriusannya, semakin kecil ketiga factor pertama tadi dapat
meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang
meringankan itu benar-benar mempengaruhi tanggung jawab seseorang?
Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan tidak pernah diterima, tidak
peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang. Kritikus lain
berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi, tidak
berbeda dengan secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.
A. Tanggung Jawab PerusahaanDalam
perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering
didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan
perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang
berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka
bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang
bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan
tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan
bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral
bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan
tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi
seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka
dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya
tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan
kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional
membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada
kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral
dibalik semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung
secara sukarela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang
bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan, secara moral akan
bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan
perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas
turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan
atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam
struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara
moral atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti
seorang sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah
perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan
dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan
menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
B. Tanggung Jawab BawahanDalam perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka.
Perusahaan
biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level
yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara
moral ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan
tindakan yang mereka ketahui salah.
Orang kadang berpendapat bahwa,
ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan perintah atasannya yang
sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu.
Hanya
atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru,
bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut
keliru, karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang
bertindak secara bebas dan sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan
seseorang yang salah merupakan pilihan secara bebas dan sadar mengikuti
perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati atasannya.
Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah
melakukan apapun yang tidak bermoral.
Dengan demikian, ketika seorang
atasan memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan sebuah tindakan
yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung jawab atas
tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung jawab secara
moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan
tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.
HAL – HAL YANG MENARIK
- Dasar Etika adalah MoralApa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak arti dari etika diantaranya adalah :
- Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengatur prilaku individu atau kelompok
- Pelajaran tentang moral
Definisi Moralitas adalah :
“Aturan-aturan
yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa yang benar dan
apa-apa yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang jahat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita percaya secara moral benar atau salah.”
- Moral Lebih ke Arah Individu
Organisasi perusahaan akan eksis bila :
“Ada individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan tertentu.”
Karena
tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan tindakan
individu-individu di dalamnya. Maka individu-individu tadi yang harus
dilihat sebagai penghalang dan pelaksana utama dari tugas moral,
tanggung jawab moral perusahaan.
Individu-individu manusia tadi
bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh perusahaan, karena
tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan
prilaku individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas
moral untuk melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai
tanggung jawab moral untuk melakukan sesuatu.
- Pencapai Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar dilakukan berdasarkan prinsip moral karena logis, universality dan konsistensi.
Universality artinya suara hati, di dalam istilah ESQ disebut anggukan universal yang mengacu kepada God Spot.
- Kasus WorldCom dan Enron
4.1 Kasus WorldCom
Di
dalam laporan keuangan WorldCom’s, Scott Sulivan memindahkan $ 400 juta
dari reserved account ke “income”. Dia juga selama bertahun-tahun
melaporkan trilyunan dolar biaya operasi sebagai “capital expenditure”.
Dia
bisa melakukan ini dengan bantuan firm accounting dan auditor terkenal
“Arthur Andersen”. Padahal Scott Sullivan, pernah mendapat penghargaan
sebagai Best CFO oleh CFO Magazine tahun 1998.
4.2 Kasus Enron
Pada
terbitan April 2001, majalah Fortune menjuluki Enron sebagai perusahaan
paling innovative di Amerika “Most Innovative” dan menduduki peringkat 7
besar perusahaan di Amerika. Enam bulan kemudian (Desember 2001) Enron
diumumkan bangkrut.
Kejadian ini dijuluki sebagai “Penipuan
accounting terbesar di abad ke 20”. Dua belas ribu karyawan kehilangan
pekerjaan. Pemegang saham-saham Enron kehilangan US$ 70 Trilyun dalam
sekejap ketika nilai sahamnya turun menjadi nol.
Kejadian ini terjadi
dengan memanfaatkan celah di bidang akuntansi. Andrew Fastow, Chief
Financial officer bekerjasama dengan akuntan public Arthur Andersen,
memanfaatkan celah di bidang akuntansi, yaitu dengan menggunakan
“special purpose entity”, karena aturan accounting memperbolehkan
perusahaan untuk tidak melaporkan keuangan special purpose entity bila
ada pemilik saham independent dengan nilai minimum 3%.
Dengan special
purpose entity tadi, kemudian meminjam uang ke bank dengan menggunakan
jaminan saham Enron. Uang hasil pinjaman tadi digunakan untuk menghidupi
bisnis Enron.
4.3 Bahasan Kasus
Dari kasus WorldCom’s dan Enron
diatas, dapat diamati bahwa walaupun sudah ada aturan yang jelas
mengatur system accounting, tetapi kalau manusia yang mengatur tadi
tidak bermoral dan tidak beretika maka mereka akan memanfaatkan celah
yang ada untuk kepentingan mereka.
4.4 Pandangan Velasquez tentang Etika Bisnis di Arab Saudi
Menurut
Velasquez, Arab Saudi adalah tempat kelahiran Islam, yang menggunakan
landasan Islam Suni sebagai hukum, kebijakan dan system sosialnya.
Tetapi di Arab Saudi tidak dikenal “basic right” (keadilan dasar,
seperti tidak ada demokrasi, tidak ada kebebasan berbicara, tidak ada
kebebasan pers, tidak mengenal peradilan dengan system juri, tidak
mengenal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap wanita. Sehingga
menurut Velasquez, di Arab Saudi tidak mengenal hak azazi manusia.
BAHASAN
Velasquez
menyatakan, Arab Saudi adalah contoh Etika Islam, dengan alasan
sederhana karena Islam lahir disana. Tetapi dia lupa bahwa Agama Kristen
dan Yahudi juga tidak lahir di Eropa atau di Amerika. Dia
mengeneralisir bahwa Arab Saudi adalah Islam.
Padahal Arab Saudi
bukan merupakan penggambaran negara Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad
SAW. Dalam jaman Rasul dan empat sahabat penerusnya dikenal istilah
demokrasi dan kebebasan beragama.
HAL – HAL MENARIK MENJADI BAHAN DISKUSI
- Bagaimana pendekatan etika yang harus out-in atau in-out
- Out-
in adalah proses pengawasan dari luar ke dalam, harus ada aturan main
atau bisnis proses yang jelas dan transparan sehingga etika bisnis bisa
berjalan,
misalnya ada good corporate governance, balance scorecard, atau Malcolm baldrige
- In-
out adalah pendekatan dari sisi individu pelaku bisnis, pelaku dari
etika adalah individu dan setiap individu harus menjalankan etika
bisnis.
- Dalam kasus Enron dan WorldCom’s, walaupun sudah ada
system yang sangat baik dan well defined is organized, masih saja
“oknum” manusia mencari celah diantara aturan main tersebut.
- Bagaimanakah
sebaiknya implementasi etika bisnis yang baik, dengan pendekatan
in-out, out-in, atau ambivalent dengan menerapkan keduanya.
- Apakah etika itu pesan universal horizontal – kewajiban vertical
- Dasar dari etika adalah kajian terhadap moralitas, dan moralitas tadi mengaju kepada individu.
- Sedangkan pencapai tertinggi dari moral adalah Orientasi Prinsip Etis Universal
- Velasquez menyatakan etika itu lebih abstrak daripada “Ten Commandements”
- Apakah etika itu pesan universal horizontal (manusia ke manusia) minus nilai kewajiban vertical (Agama) ?
CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS
- Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Sebuah
perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan
untuk Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu,
perusahaan sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini
perusahaan x dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum.
- Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah
Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa
baru. Pungutan sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada
mereka saat akan mendaftar, sehingga setelah diterima mau tidak mau
mereka harus membayar. Disamping itu tidak ada informasi maupun
penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah
didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang
itu dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak
Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi
- Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah
RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A
sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman
dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh
Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan kewajiban dia
berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola sendiri
tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena
sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini
RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena
tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara
Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah
perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter.
Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji
akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan
akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut
menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan
dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan
biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa
dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung
diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika
dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu
seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI
tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan
hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan
untuk bekerja.
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah
perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin
membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan
kavling perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah
memenuhi kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya
administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai
kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar
pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada ijin dari pusat
perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling
itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah
dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin
memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah
memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera
pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan property
tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak
memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk
akal.
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah
perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan
kesepakatan pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada
kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan
penurunan kualitas spesifikasi bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan
pengembang. Selang beberapa bulan kondisi bangunan sudah mengalami
kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor dapat
dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi
spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan
pengembang
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang
nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X
sudah memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya
membayar angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan.
Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi
X untuk menagih angsuran dan mengancam akan mengambil mobil yang masih
diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan dan
melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat
mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip
empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
Ditulis oleh Fitriansyah Hambali, SE., MM. & Dr. Herry Sussanto