Kamis, 18 Juli 2013

T O E F L

Internet-based Test

Since its introduction in late 2005, the TOEFL iBT format has progressively replaced both the computer-based tests (CBT) and paper-based tests (PBT), although paper-based testing is still used in select areas. The TOEFL iBT test has been introduced in phases, with the United StatesCanadaFranceGermany, and Italy in 2005 and the rest of the world in 2006, with test centers added regularly. The CBT was discontinued in September 2006 and these scores are no longer valid.

Although initially, the demand for test seats was higher than availability, and candidates had to wait for months, it is now possible to take the test within one to four weeks in most countries. The four-hour test consists of four sections, each measuring one of the basic language skills (while some tasks require integrating multiple skills) and all tasks focus on language used in an academic, higher-education environment. Note-taking is allowed during the TOEFL iBT test. The test cannot be taken more than once a week.
  1. Reading
    The Reading section consists of 3–5 passages, each approximately 700 words in length and questions about the passages. The passages are on academic topics; they are the kind of material that might be found in an undergraduate university textbook. Passages require understanding of rhetorical functions such as cause-effect, compare-contrast and argumentation. Students answer questions about main ideas, details, inferences, essential information, sentence insertion, vocabulary, rhetorical purpose and overall ideas. New types of questions in the TOEFL iBT test require filling out tables or completing summaries. Prior knowledge of the subject under discussion is not necessary to come to the correct answer.

  2. Listening
    The Listening section consists of six passages 3–5 minutes in length and questions about the passages. These passages include two student conversations and four academic lectures or discussions. A conversation involves two speakers, a student and either a professor or a campus service provider. A lecture is a self-contained portion of an academic lecture, which may involve student participation and does not assume specialized background knowledge in the subject area. Each conversation and lecture stimulus is heard only once. Test-takers may take notes while they listen and they may refer to their notes when they answer the questions. Each conversation is associated with five questions and each lecture with six. The questions are meant to measure the ability to understand main ideas, important details, implications, relationships between ideas, organization of information, speaker purpose and speaker attitude.

  3. Speaking
    The Speaking section consists of six tasks: two independent tasks and four integrated tasks. In the two independent tasks, test-takers answer opinion questions on familiar topics. They are evaluated on their ability to speak spontaneously and convey their ideas clearly and coherently. In two of the integrated tasks, test-takers read a short passage, listen to an academic course lecture or a conversation about campus life and answer a question by combining appropriate information from the text and the talk. In the two remaining integrated tasks, test-takers listen to an academic course lecture or a conversation about campus life and then respond to a question about what they heard. In the integrated tasks, test-takers are evaluated on their ability to appropriately synthesize and effectively convey information from the reading and listening material. Test-takers may take notes as they read and listen and may use their notes to help prepare their responses. Test-takers are given a short preparation time before they have to begin speaking. The responses are digitally recorded, sent to ETS’s Online Scoring Network (OSN) and evaluated by three to six raters.

  4. Writing
    The Writing section measures a test taker's ability to write in an academic setting and consists of two tasks: one integrated task and one independent task. In the integrated task, test-takers read a passage on an academic topic and then listen to a speaker discuss the same topic. The test-taker will then write a summary about the important points in the listening passage and explain how these relate to the key points of the reading passage. In the independent task, the test-taker must write an essay that states, explains, and supports their opinion on an issue, supporting their opinions or choices, rather than simply listing personal preferences or choices. Responses are sent to the ETS OSN and evaluated by four raters.


    Paper-based Test

    The TOEFL® paper-based Test (PBT) is available in limited areas. Scores are valid for two years after the test date, and test takers can have their scores sent to institutions or agencies during that time.

    1. Listening (30 – 40 minutes)
      The Listening section consists of 3 parts. The first one contains 30 questions about short conversations. The second part has 8 questions about longer conversations. The last part asks 12 questions about lectures or talks.

    2. Structure and Written Expression (25 minutes)
      The Structure and Written Expression section has 15 exercises of completing sentences correctly and 25 exercises of identifying errors.

    3. Reading Comprehension (55 minutes)
      The Reading Comprehension section has 50 questions about reading passages.

    4. Writing (30 minutes)
      The Writing section is one essay with 250–300 words in average.

Sabtu, 29 Desember 2012

Contoh Kasus Konflik dalam Suatu Perusahaan dan Cara Penangannanya

Kasus :
Terjadinya kesalahpahaman karena komunikasi sering terjadi dalam perusahaan baik dengan atasan maupun dengan bawahan. Sehingga dapat menimbulkan terjadinya komposisi kerja yang kurang maksimal. Didalam hubungan komunikasi di suatu lingkungan kerja atau perusahaan konflik antar individu akan sering terjadi. Konflik yang sering terjadi biasanya adalah karena masalah kominikasi yang kurang baik. Sehingga cara mengatasi konflik dalam perusahaan harus benar-benar dipahami management inti dari perusahaan, untuk meminimalisir dampak yang timbul.
Permasalahan atau konflik yang terjadi antara karyawan atau karyawan dengan atasan yang terjadi karena masalah komunikasi harus di antisipasi dengan baik dan dengan system yang terstruktur. Karena jika masalah komunikasi antara atasan dan bawahan terjadi bias-bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya mogok kerja, bahkan demo.
Sehingga untuk mensiasati masalah ini bias dilakukan dengan berbagai cara.
1. Membentuk suatu system informasi yang terstruktur, agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi. Misalnya, dengan membuat papan pengumungan atau pengumuman melalui loudspeaker.
2. Buat komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan menjadi lancer dan harmonis, misalnya dengan membuat rapat rutin, karena dengan komunikasi yang dua arah dan intens akan mengurangi masalah di lapangan
3. Beri pelatihan dalam hal komunikasi kepada atasan dan karyawan, pelatihan akan memberikan pengetahuan dan ilmu baru bagi setiap individu dalam organisasi dan meminimalkan masalah dalam hal komunikasi
Biasanya masalah timbul karena lingkungan yang kurang kondusif di suatu perusahaan. Misalnya, kondisi cahaya yang kurang, atau sirkulasi yang kurang baik, dan temperature ruangan yang tinggi sangat mungkin untuk meningkatkan emosi seseorang, jadi kondisi dari lingkungan juga harus di perhatikan
Konflik dalam perusahaan juga sering terjadi antar karyawan, hal ini biasanya terjadi karena masalah diluar perusahaan, misalnya tersinggung karena ejekan, masalah ide yang dicuri, dan senioritas. Perusahaan yang baik harus bisa menghilangkan masalah senioritas dalam perusahaan. Hal ini dapat meminimalisir masalah yang akan timbul, kerena dengan suasanya yang harmonis dan akrab maka masalah akan sulit untuk muncul.

Senin, 17 Desember 2012

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM


I. Pendahuluan
            Sistem Etika Bisnis Islam berbeda dengan sistem etika sekuler, sistem sekuler mengasumsikan sejumlah moralitas yang sangat entropis, karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri diatas nilai – nilai temuan manusia.Seperti halnya epicurianism atau kebahagiaan hanya untuk kebahagiaan itu sendiri.Sistem etika tersebut megusulkan sebuah sistem penceraian antara etika dengan agama.Sedangkan kode moralitas yang diadopsi agama selain Islam lebih sering menekankan kepada pengkaburan eksistensi kehidupan manusia di muka bumi.
            Bagi seorang muslim, kemapanan paradigm konvensional akan arti manusia sebagai ‘ Homo economicus’ (pelaku ekonomi yang mencari keuntungan bagi dirinya tanpa mengindahkan kepentingan orang lain) tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai – nilai etika Islam.Oleh sebab itu, morality concept dalam perspektif Islam diusung pada saat pencerahan aksioma – aksioma yang sudah terlanjur kondang (dari sistem kapitalis misalnya).
II. Definisi Etika Bisnis Islam
            Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip – prinsip moralitas.Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.
            Moralitas disini berarti, aspek baik/buruk, terpuji/tercela, benar/salah, wajar/tidak wajar, pantas/tidak pantasdari perilaku manusia.Kemudian dalam kajian etika bisnis Islam susunan adjective di atas ditambah dengan halal – haram, sebagai yang disinyalir oleh Husein Sahatah, dimana beliau memaparkan sejumlah perilaku etis bisnis (akhlak al islamiyah) yang dibungkus dengan dhawabith syariah (batasan syariah) atau general guideline menurut Rafik Issa Beekun.
III. Batasan Desain Etika Bisnis dalam Islam
            Desain metodologis sangat diperlukan agar muslim paling tidak mempunyai acuan standar moral tersendiri dalam berperilaku etika, khususnya pada bisnis.Untuk upaya tersebut, berikut sejumlah tahapan yang menjadi rumusan dan cara kerja penulis dalam mengasumsikan bagaimanakah etika bisnis Islam, yaitu :
1.      Pemetaan (maping) Nilai – nilai Sistem Etika Barat dan Timur
2.      Proses Inserting Islamic Values (memasukkan nilai – nilai Islam) pada Standar Moral Etika.
3.      Inventing the Tools
4.      Punishment and Repentance (hukuman dan penyesalan)

IV. Nilai – nilai Etika Kerja Islami
            Ada beberapa ciri khas etos kerja Islami yang dapat diakomodir dari implementasi nilai Islam dalam Al – Qur’an dan Hadits, seperti sebagai berikut menghargai waktu, ikhlas, jujur, komitmen kuat, istikamah, disiplin dalam kerja, konsekuen dan berani tantangan,disiplin kreatif, percaya diri dan ulet, bertanggung jawab, bahagia karena melayani, memiliki harga diri, memiliki jiwa kepemimpinan, berorientasi pada masa depan, hidup hemat, jiwa wirausaha, insting bertanding dalam kompetisi kebaikan, keinginan mandiri, selalu belajar, orientasi pada produktifitas, perkaya jaringan silaturahmi, semangat perantauan dan semangat perubahan.
            Konsep kerja dan bisnis Islam yang dapat diterjemahkan dalam bentuk aplikasi etos kerja, yaitu :
1.      Keimanan bahwa tujuan manusia dalam melakukan pekerjaan adalah beribadah kepada Allah dan memakmurkan kehidupan dengan mengelola bumi beserta isinya.
2.      Kerja adalah usaha untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jiwa dan jasmani.
3.      Bekerja keras untuk mendapatkan rezeki di sertai dengan tawakal dan takwa kepada Allah SWT.
4.      Usaha yang halal dan menghindari usaha yang haram.
5.      Menghindarkan transaksi ribawi.
6.      Keinginan untuk memenuhi kebutuhan kewajiban – kewajiban Islam yang lebih utama tanpa dilandasi dengan sikap sombong atau tinggi hati.
7.      Tidak bekerja sama dengan musuh – musuh Islam.
8.      Keimanan yang menyatakan bahwa seluruh materi di dunia ini hanya milik Allah sedang manusia hanya bertugas sebagai khalifah.
9.      Menjaga kepemilikan materi dan mengembangkannya di jalan yang halal.
10.  Kewajiban bermoral seperti jujur, amanah, dan paham akan segala aspek perdagangan.
11.  Memperbanyak beristighfar, karena memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT dapat menjadikan salah satu factor dimudahkannya untuk mendapatkan rezeki.
12.  Keimanan bahwa Allah SWT senantiasa melebihkan rezeki kepada sebagaian hambanya.
13.  Keseimbangan dalam pengeluaran uang.
14.  Mengeluarkan zakat harta, karena zakat adalah ibadah dan bagian dari rukun Islam.
15.  Keimanan kepada hari akhir dan manusia akan dihitung segala amalanya dalam berproses mencari dan mengeluarkan rezeki.
16.  Yang dibolehkan syara’ adalah ahal yang baik dan halal.
17.  Membuat perjanjian dalam hubungan kemitraan
18.  Pembiayaan proyek usaha secara resmi islami.
19.  Menghindari jual beli yang tidak dibolehkan syara’
20.  Mematuhi kode etik dalam setiap melaksanakan kewajiban dan interaksi keuangan.
21.  Melakukan transaksi dengan bank secara Islami
22.  Tanpa adanya alasan dlaruraat sebisa mungkin menjauhkan transaksi yang tidak Islami dengan perusahaan asuransi.
23.  Berhati – hati ketika bertransaksi dengan surat dagang (Commercial Papers)
24.  Memberikan hak – hak pekerja.
25.  Melaksanakan hak Allah yang diwajibkan atas materi
26.  Menggunakan prinsip al ma’ruf  dakan pembubaran usaha
27.  Memberikan kemudahan bagi pihak yang mengalami kesulitan.
28.  Seseorang dilarang menawar diatas tawaran saudaranya.
29.  Memurahkan harga dan berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit.
30.  Memiliki rasa impati.
 
digg del.icio.us stumbleupon reddit RSS

Wacana Etika dalam Bisnis


Perbincangan tentang  "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor". 
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang  nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber  dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun  di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.

 Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq   

Etika Islam Tentang Bisnis

Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga"  (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
 Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak  harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika  oreientasi bisnis dan upaya investasi  akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam,  bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada  falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"

Sekali lagi  anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam.
* Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon,  Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon

ETIKA BISNIS DAN E-COMMERCE

      Bisnis? Apakah bisnis memiliki peran dalam Teknologi Informasi? Tentu saja iya. Dalam teknologi informasi aspek bisnis berpengaruh kuat dalam pengembanganya. Aspek bisnis disini diperlukan untuk mencari keuntungan, dimana keuntungan tersebut digunakan untuk perkembangan teknologi. Namun, dalam berbisnis pun tidak akan lepas dari etika, yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai manusiawi dalam mencari keuntungan berbisnis.
Menurut Sony Kerf (1991) prinsip-prinsip etika bisnis antara lain adalah prinsip otonom, dimana pelaku bisnis bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya serta dampak dari keputusannya tersebut. Prinsip kejujuran guna menjamin kelagengan pada sebuah kegiatan bisnis. Prinsip berbuat baik dan tidak berbuat jahat, prinsip keadilan dimana pelaku bisnis berbuat adil terhadap seseorang sesuai dengan haknya. Kemudian yang terakhir, prinsip hormat pada diri sendiri karena manusia memiliki kewajiban moral untuk memperlakukan dirinya sebagai pribadi yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama dengan pribadi lainnya.
Dalam berbisnis di bidang Teknologi Informasi banyak macamnya seperti, Bisnis di bidang industry perangkat keras dan atau lunak, bisnis di bidang distribusi dan penjualan barang, bisnis di bidang pendidikan Teknologi Informasi dan masih banyak lagi. Akan tetapi setiap bisnis tersebut juga banyak sekali tantangannya. Biasanya tantangan tersebut seperti cepatnya perubahan dan inovasi pada hardware, tantangan pasar dan pemasaran di era globalisasi atau sebentar lagi yang akan menghadapi perdangan bebas, tantangan pergaulan internasional, tantangan pengembangan SDM, dsb.
E-commerce (Electronic Commerce) merupakan suatu cara berbelanja atau berdagang online dimana terdapat layanan website yang menyediakan layanan “Get and Deliver”. Keuntungannya pelaku bisnis ini tidak perlu memikirkan biaya-biaya operasional untuk keigatan perdagangannya tersebut, lalu dapat meningkatkan pendapatan dengan menggunakan online channel yang biayanya lebih murah. Akan tetapi bukan berarti menggunakan cara ini tidak ada masalah, melainkan lebih merepotkan jika kita menjadi konsumen yang dirugikan. Permasalahnnya karena kontrak transaksinya dilakukan secara elektronis/digital sehingga mudah dimanipulasi. Atau ketika barangnya dikirim sudah dalam keadaan rusak atau terjadi keterlambatan dalam pengiriman. Ketika kita menjadi penjual pun ada saja kendalannya terutama mengenai pajak sewaktu pengiriman dilakukan melewati batas Negara yang berbeda.

Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya

      Relativisme etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus diterapkan terhadap perusahaan atau orang dari semua masyarakat.
Dalam penalaran moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.